SINGKONKEJU

Jumat, 14 Juni 2013

ETIKA PUBLIC RELATION

PERAN ETIKA

Etika merupakan cabang dari filsafat dimana mempelajari pandangan-pandangan dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan yang kadang-kadang orang memakai dengan istilah filsafat etika, filsafat moral, filsafat susila etika ilmu yang mempelajari apa yang benar dan apa yang salah, fungsi praktis dari etika adalah memberikan pertimbangan dalam berprilaku. Tujuan mempelajari etika, untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruangan dan waktu tertentu pengertian baik sesuatu hal dikatakan baik bila ia mendatangkan rahmat, dan memberikan perasaan senang, atau bahagia (Sesuatu dikatakan baik bila ia dihargai secara positif) Pengertian buruk segala yang tercela. Perbuatan buruk berarti perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku.

Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom) Etika adalah nilai-nilai, dan asas-asas moral yang di pakai sebagai pegangan umum bagi penentuan baik buruknya perilaku manusia atau benarnya tindakan manusia sebagai manusia (Soleh Soemirat, 2005:169). Etika mengacu pada sistem nilai dengan apa orang menentukan apa yang benar dan apa yang tidak benar, yang adil dan tidak adil, yang jujur dan tidak jujur. Etika terungkap dari prilaku moral dalam situasi tertentu. Peran etika dalam kehidupan pribadi dan praktisi sendiri juga sama pentingnya.

A. ETIKA ITU PUNYA NILAI EKONOMIS.
Dalam dunia kehumasan, kredibilitas itu mutlak penting. Kita tidak hanya harus dipercaya, tetapi juga harus senantiasa mengemukakan segala sesuatu seperti apa adanya, sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Pada hakikatnya, intisari humas adalah pemahaman dan pengetahuan  yang menjuruskan kepada niat baik (good will) serta reputasi, dan semua itu tergantung kepada keyakinan.

Konsekuensinya, prinsip "kejujuran adalah aturan paling mendasar" berlaku di sini, dan itu berarti kegiatan-kegiatan humas takkan membawa manfaat apa pun jika tidak di percaya. Oleh karena itu jelas bahwa humas juga jauh berbeda dari propaganda yang cenderung memaksakan ide-ide tertentu - baik itu yang bersifat religius, sosial maupun politik - kepada masyarakat. Humas juga berbeda dari iklan yang condong mendorong-dorong atau bahkan memanipulasi calon konsumen untuk membeli suatu barang. Di dalam dunia humas, kita bertanggung jawab untuk menyajikan informasi faktual secara akurat, tanpa pengurangan maupun penambahan. Para Penerima informasi itulah yang berhak untuk menentukan sikap atau memberi komentar terhadapnya.

Sebagai contoh, pihak humas hanya berkewajiban untuk menyajikan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa pasokan air melalui pipa itu lebih sehat dan bersih daripada air yang langsung diambil dari sungai. Tapi penerimaannya tetap berada di tangan mereka yang menerima pesan itu. Penduduk desa pemakai air itulah yang akan berhak menentukan untuk memilih air dari pipa-pipa saluran tadi atau tidak.

B. ETIKA DAN PERILAKU.
Etika terutama sekali harus diberlakukan pada setiap perilaku para praktisi humas. integritas pribadi merupakan bagian utama dari profesionalisme. Prinsip ini juga berlaku di berbagai bidang kekaryaan lainnya seperti halnya bidang profesi dokter, guru maupun akuntan. Para petugas humas juga harus mempersembahkan humas terhadap diri mereka sendiri mengingat sosok mereka selalu dinilai berdasarkan apa-apa yang mereka kerjakan. Praktisi humas yang baik adalah mereka yang senantiasa berusaha memberikan nasehat-nasehat terbaik, tidak suka menyuap atau di suap apalagi korup serta selalu mengemukakan segala sesuatu atas dasar fakta-fakta yang ada, bukan mengada-ada atau hanya untuk menyenagkan kalangan tertentu saja (misalnya kalangan pers yang memang sering menentukan opini masyarakat atau sosok dan kehadiran suatu lembaga). Mereka adalah orang-orang yang profesional.

C. INSTRUKSI-INSTRUKSI YANG TIDAK ETIS.
Sebagai landasan formal bagi segenap kegiatannya, setiap praktisi humas wajib mencari suatu bentuk pengakuan atas kedudukan profesionalnya. Di Inggris, salah satu bentuk pengakuan itu adalah CAM Diploma in Public Relations, atau ijazah yang di keluarkan oleh British Institute of Public Relations. Sedangkan di Amerika serikat adalah sertifikat lulus ujian yang khusus diselnggarakan oleh Public Relations Society of America atau sertifikat dari International Association of Business Communication.

Hampir semua negara, khususnya negara-negara maju, sudah ada lembaga-lembaga yang khusus menerbitkan sertifikat profesi di bidang humas. Dalam rangka memperkuat kehadiran dan sosoknya, para konsultan humas jugaperlu membentuk asosiasi-asosiasi profesi humas. salah satu contohnya adalah Asosiasi Para Konsultan Humas atau Public Relations Consultants Association di Inggris. Kita juga mengenal adanya International Public Relations (IPR) yang syarat-syarat keanggotaanya didasarkan pada usia dan bobot pengalaman seorang praktisi humas yang menjadi calon anggota (ada pun syarat lainnya, ia juga harus memiliki CAM Diploma atau diploma di bidang humas yang kurang lebih setara).

D. NILAI KODE ETIK, dan KODE ETIK INTERNASIONAL.
Sehubungan dengan masih begitu banyaknya kritikan, kecurigaan dan, terutama sekali, sikap masa bodoh  terhadap keberadaan profesi humas, maka kode etik kehumasan tersebut mutlak perlu ditegakkan. Tentu saja penegakan kode etik takkan sanggup sepenuhnya menghapus semua prilaku menyimpang. Namun sedikit banyak, seperti juga yang dialami oleh berbagai bidang profesi lainnya, pendisplinan kode etik itu pasti membawa mamfa'at yang berarti.

Sekarang sudah terdapat beberapa kode etik internasional seperti Kode Athena (Code of Athena) yang terkenal itu. Kode etik ini ditetapkan secara resmi oleh International Public Relations Association (IPRA) di Athena, Yunani, pada tahun 1965, dan kemudian disempurnakan lagi di Teheran, Iran, pada tahun 1968. Penekanan kode etik tersebut adalah kepada "hak-hak azasi manusia". Sampai sejauh ini IPRA telah memiliki anggota yang berasal 70 negara.

Namun lembaga pembuat kode etik itu sendiri memang acapkali tidak memiliki perangkat pendukung yang memadai untuk memastikan bahwa semua aturan yang di gariskannya telah di patuhi. Selain itu, seringkali juga tidak tersedia catatan-catatan pelanggaran yang jelas dan terinci. Bahkan boleh dikatakan bahwa sampai sejauh ini belum ada tindakan pelanggaran yang dikenai sanksi nyata. Kode etik IPRA memang punya permen karet untuk di kunyah, tapi tidak memiliki gigi untuk mengunyahnya.

Sementara itu, Kode Etik Praktek (code of Practice) yang di tetapkan oleh British Institute of Public Relations nampaknya lebih efektif penerapannya. Begitu seseorang diangkat sebagai anggota, maka ia langsung terikat kewajiban untuk mematuhi semua peraturan yang tertuang dalam kode etik praktek tersebut. Setiap pelanggaran akan mengakibatkan suatu saksi. Tidak seperti IPRA. lembaga ini memiliki suatu komite pengawas (Professional Practices Committee) yang menerima dan memproses pengaduan-pengaduan yang di sampaikan oleh seseorang melalui direkturnya. Di samping itu, lembaga ini juga memiliki komite  Disiplin yang memiliki wewenang bertindak tanpa persetujuan dewan pimpinan dalam menangani berbagai macam persoalan yang tergolong amat serius. Kasus yang sangat berat memang jarang terjadi, namun lembaga tersebut sudah pernah beberapa kali menerapkan saksi-saksi maupun peringatan yang dipublikasikan kepada pihak pelanggar.

Public Relations Consultants Association juga memiliki kode etik serupa dalam mengatur perilaku segenap anggotanya yang khusus terdiri dari konsultan-konsultan humas (keanggotaan lembaga ini tidak berdasarkan individu, melainkan lembaga atau perusahaan yang bergerak dalam jasa humas). Pada tahun 1990 dan 1991 terjadi perubahan-perubahan radukal atas struktur kedua kode etik tersebu. Yang pertama, PRCA mengubah kode etik bakunya menjadi sebuah piagam yang lebih terinci. Piagam ini tidak hanya menyebutkan apa-apa yang tidak boleh dilakukan, tetapi juga hal-hal yang harus dikerjakan. Pada tahun yang sama, yakni 1990, terjadi perubahan radikal yang kedua. IPR mengadakan revisi total atas klausul 9 yang memang tergolong kontroversial dan tidak populer karena melarang perhitungan permbayaran jasa-jasa humas berdasarkan hasil-hasil yang telah populer. (Penulis sendiri pernah klausul 9 sebagai suatu ketentuan yang sangat kabur sehingga mudah sekali menimbulkan penfsiran ganda!).

Pada awalnya, klausul itu menyatakan bahwa pembayaran tidak boleh didasarkan pada hasil-hasil yang didapat, melainkan harus dihitung berdasarkan volume kerja yang telah dilakukan. Jadi, klausul itu mengharuskan para konsultan humas menghitung upahnya berdasarnya jumlah, misalnya, potongan kliping yang dikumpulaknnya. Jika yang terkumpul, 100 kliping, ia berhak menuntut upah sebanyak, katakanlah, Rp. 1.000.000; jika yang terkumpul 200 buah, maka ia boleh meminta pembayaran dua kali lipat, terlepas dari besar kecilnya hasil atau manfaat yang dibuahkan oleh potongan-potongan kliping tersebut.

Pada rapat umum berikutnya tahun 1991, berlangsunglah perubahan radikal berikutnya. Kode etik IPR yang lama diganti sepenuhnya dengan kode etik yang sama sekali baru. Kode etik IPR yang baru tersebut sangat mirip dengan kode etik milik PRCA sehingga terciptalah suatu kompatibilitas atau kesesuaian antara kode etik dari kedua asosiasi kehumasan di Inggris itu (PRCA dan IPR).
  

REFRENSI.
Jefkins, Frank dan Munandar, Haris. 1992. Public Relations. Edisi Keempat.Eralangga.Ciracas. Jakarta
Soemirat, Soleh. Elvinaro Ardianto. 2005. Dasar – Dasar Public Relation. Bandung: Rosda.
Read more >>

Popular Posts