SINGKONKEJU

Kamis, 17 April 2014

Sape Sonok Kekayaan Budaya Warga Sumenep

Sape sonok berasal dari bahasa Madura yang berarti sapi yang mengangkat kakinya dan memasukkannya ke atas papan yang telah disediakan. Dalam konteks ini, sepasang sapi betina didandani bagaikan ratu kecantikan.

Tanduknya dipolesi warna-warni, bulunya disemir dan dirapikan dengan berbagai model, lehernya dikalungi perhiasan, perut dan kepalanya dipenuhi dengan hiasan, kakinya pun memiliki ‘sepatu’ khusus yang dibuat dari bahan khusus pula. Lumrahnya, sape sonok ini diiringi dengan musik tradisional Madura, Saronen. Kedua sapi yang berlomba akan berlenggak-lenggok indah ketika berjalan. Tentu saja lenggak-lenggok itu ala para sapi. 

Sebagai budaya yang mulai menjamur di masyarakat, kehadiran sape sonok patut diapresiasi secara positif oleh seluruh elemen masyarakat Madura tanpa terkecuali sehingga budaya itu dapat terjaga dan terlestarikan. Sape sono’ khusus bagi pasangan sapi betina yang diadu kecerdasannya melewati beberapa rintangan yang sudah ditentukan kreterianya. Itu sebabnya pemilik sape sono’ harus memperhatikan pertumbuhan badan sapi sehingga akan memenuhi semua kreteria penilaian, misalnya cara jalan dan sebagainya. Dulu, sape sono’ digelar sebelum acara kerapan sapi dimulai, namanya sapi pajangan. Sekarang, karena perubahan zaman berubah nama menjadi sape sana. 

Bagi masyarakat Sumenep, sape sono’ juga bisa meningkatkan tarap hidup masyarakat menjadi baik. Sebab, kalau sape sana’ dipelihara sejak kecil, misalnya, dibeli dengan harga Rp 5 juta untuk satu pasang, setelah dipelihara 1-2 bulan harganya bisa mencapai Rp 15-20 juta. 

Semakin tahun penggemar sape sana’ semakin banyak. Sebaliknya, harga tembakau agak merosot sehingga banyak yang lari memelihara sape sana’. Sebab, kalau pasangan sape sana’ pernah memenangkan lomba harganya bisa mencapai Rp 75-90 juta. Ciri-ciri sape sana’ yang cantik bodi bagus, panjang, gemuk dan bulunya agak merah. 

Perkembangan sape sana’ terbanyak didominasi Kabupaten Sumenep menyusul di Kabupaten Pamekasan. Khusus di Kabupaten Sumenep sape sana’ banyak di Kecamatan Lentang. Dalam perkembangannya sape sana’ ternyata lebih banyak penggemarnya daripada kerapan sapi. Ini terjadi karena kerapan sapi itu biayanya lebih banyak, terutama pada pemeliharaan seperti pemberian jamu. Makanya pemilik kerapan sapi hanya orang-orang kaya saja. 

Agenda sape sana’ dimulai dari tingkat lokal, kecamatan, kabupaten baru sampai ke tingkat eks karesidenan dengan penyelenggara dinas pariwisata kemudian tingkat provinsi. Dalam kriteria penilaian sape sana’ yang pertama dilihat umurnya, minimal giginya tidak copot. 

Kemudian berat badan, bodi yang baik agak melebar dan panjang, dan kepala agak memanjang. Saat penilaian masuk gawang, tidak boleh menyentuh garis. Bila menyentuh nilainya akan dipotong lima. Begitu juga bila tempat kalungan sapi terlihat miring, nilainya juga dikurangi. 

Kriteria penilaian berikutnya, ketika masuk gapura (gawang) yang dibuat pas dengan ukuran sapi, kakinya harus naik dan berhenti kira-kira lima menit di papan yang sudah disediakan. Kalau kaki melewati papan atau diangkat, nilainya juga dikurangi. Badan sapi menyentuh pintu gapura, juga nilainya dikurangi. 

Biasanya, pasangan sapi yang telah dirangkai dikendalikan seorang joki. Sambil berjalan, mereka diiringi cilunan musik saronen yang dimainkan sembilan orang lengkap dengan pakaian adat Madura. 

Cara berjalan dan cara menjejakkan kaki depan ke atas sebuah kayu. Itulah sebabnya mengapa diberi nama sape sana’ yang berasal dari bahasa Madura sokonah nungkok atau kakinya naik. Hal ini menjadi penilaian penting dalam lomba. Hanya sapi yang terlatih yang bisa menaikkan kaki ke atas kayu, sehingga tampak rapi dan anggun. Kaki sapi yang tepat meletakkan kaki di atas papan tanpa meleset mendapat nilai yang tinggi. 


Dalam mengisi kekosongan di saat tidak ada kegiatan sape sana’, beberapa penggemar lebih memilih merawat sapinya, agar tidak sampai hilang keindahan bulu dan penampilan sapi. Sebab, jika jarang dirawat sape sono’ penampilannya tidak jauh berbeda dengan sapi biasa, yang sering digunakan untuk membajak sawah. Sape sana’ dirawat seperti dimandikan, disisir bulunya dan diberi jamu, agar penampilan sapinya tetap menarik. “Sape sana’ kalau sapinya besar setiap satu ekor bisa menghabiskan 25 butir telur itik setiap harinya. Makanannya, jagung diselep dicampur dengan bubuk padi dan ampas tahu kemudian diaduk. (Dari berbagai sumber) Sumber: http://humaspemkabsumenep.com/2013/06/sape-sonok-kekayaan-budaya-warga-sumenep/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts