SINGKONKEJU

Sabtu, 13 Oktober 2012

PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFIKING) MENURUT ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN 
1.1  Latar Belakang

Perdagangan perempuan dan anak (trafiking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Di masa lalu, perdagangan anak dan perempuan hanya dipandang sebagai pemindahan secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi. jumlah konvensi terdahulu mengenai perdagangan hanya memfokuskan aspek ini. Namun seiring dengan perkembangan zaman, perdagangan didefinisikan sebagai pemindahan, khususnya perempuan dan anak dengan
atau tanpa persetujuan orang yang bersangkutan di dalam suatu negara atau ke luar negeri untuk semua perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi.
Trafiking merupakan salah satu masalah yang perlu penanganan mendesak seluruh komponen bangsa. Hal tersebut perlu, sebab erat terkait dengan citra bangsa Indonesia di mata internasional. Apalagi, data Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ketiga sebagai pemasok perdagangan perempuan dan anak. Suatu tantangan bagi Indonesia untuk menyelamatkan anak bangsa dari keterpurukan.
Memang disadari bahwa penanganan trafiking tidaklah mudah, karena kasus pengiriman manusia secara ilegal ke luar negeri sudah terjadi sejak bertahun-tahun lamanya tanpa adanya suatu perubahan perbaikan. Sebagaimana yang dilaporkan Pemerintahan Malaysia, bahwa 4.268 pekerja seks berasal dari Indonesia. Demikian juga dengan wilayah perbatasan negara Malaysia dan Singapura. Data menunjukkan sebanyak 4.300 perempuan dan anak yang dipekerjakan sebagai pekerja seks (Kompas, 10 Mei 2001) di wilayah tersebut. Kemudian di akhir tahun 2004 muncul lagi kasus yang sama, bahkan meningkat mencapai angka 300.000.1
Trafiking merupakan salah satu jalur terjadinya perdagangan orang yang korbannya rata-rata berada di bawah garis kemiskinan, khususnya perempuan dan anak. Apalagi, hingga saat ini posisi perempuan masih termarjinalisasi, tersubordinasi yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi kondisi perempuan.
Situasi semacam ini merupakan santapan sindikat perdagangan perempuan dan anak yang sudah terorganisir untuk melakukan perekrutan. Bahkan nyaris jauh dari jangkauan hukum, karena sindikatnya diawali dengan transaksi utang-piutang antara pemasok tenaga kerja ilegal dengan korban yang mempunyai bayi atau anak perempuan yang masih perawan, sehingga jika korban tidak mampu untuk menyelesaikan transaksi yang telah disepakati, maka agunannya adalah anak perempuan yang masih bau kencur.
Masyarakat internasional telah lama menaruh perhatian terhadap permasalahan perdagangan anak ini. PBB, misalnya, melalui konvensi tahun 1949 mengenai penghapusan perdagangan manusia dan eksploitasi pelacuran oleh pihak lain, konvensi tahun 1979 mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dan konvensi tahun 1989 mengenai hak-hak anak. Berbagai organisasi internasional seperti IOM, ILO, UNICEF, dan UNESCO memberikan perhatian khusus pada masalah perdagangan anak, pekerja anak yang biasanya berada pada kondisi pekerjaan eksploitatif, seksual komersial.
Salah satu faktor yang mendorong terjadinya trafiking adalah faktor kemiskinan yang cenderung dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan bisnis, di mana korban diperjualbelikan bagaikan barang yang tidak berharga melalui tipu muslihat.
Jika ditinjau dari aspek hukum, sindikat seperti ini sudah masuk area tindak pidana, perlakuan mereka orientasinya adalah bisnis, tanpa memikirkan bahwa perempuan dan anak merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang perlu dilindungi dan mempunyai harga diri sebagai pemangku hak dan kewajiban sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Pemerintah Indonesia telah melahirkan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 dan telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights on the Child) melalui Keppres Nomor 36 Tahun1990 Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 57. Dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara telah selangkah lebih maju dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak.
Dari uraian tersebut di atas, Bahwa permasalahan ini dari sudut aturan-aturan dan perundang-undangan, maka penulis juga akan mengaitkan masalah perdagangan anak ini dengan kewajiban Indonesia sebagai negara peratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (KHA), khususnya kewajiban dalam pasal 35 KHA yang mewajibkan negara untuk mencegah penculikan, perdagangan, atau penyelundupan anak untuk tujuan dan dalam bentuk apapun.

1.2  Pengertian Anak
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya juga melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut dengan UU No. 23 Th 2002) merupakan peraturan khusus yang mengatur mengenai masalah anak. Tujuan dari perlindungan anak sendiri disebutkan dalam Pasal 3 UU No. 23 Th 2002 : “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.”
Disebutkan juga dalam Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang hak dari anak yang menyebutkan bahwa : “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Perdagangan anak sendiri sebenarnya telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Lebih ironis lagi bahwa praktik perdagangan orang initernyata banyak terjadi di Negara ini. Orang sebagai “obyek dagang” dalam transaksi ini yang mayoritas adalah anak perempuan, sebenarnya bukan fenomena baru di negara ini. Untuk menghitung jumlah pastinya seperti halnya sebuah fenomena puncak gunung es, dimana yang kelihatan hanyalah sebagian kecil saja, akan tetapi jumlah yang lebih besar banyak yang luput dari sorotan media maupun masyarakat pada khususnya. Berbagai survei, penelitian, dan pengamatan menunjukkan kasus perdagangan orang cenderung meningkat dan kian memprihatinkan.
Contoh nyata dari kasus perdagangan anak terjadi di Medan, yang kasus posisinya adalah sebagai berikut :
“Tony (52), terdakwa kasus perdagangan orang (trafficking), pada hari kamis tanggal 22 Feb 2007 akhirnya divonis 3 tahun 7 bulan potong masa tahanan oleh majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan. Tony dinyatakan bersalah melanggar Pasal 83 UU No 23 Th 2002 tentang Perlindungan Anak. Menjawab pertanyaan majelis hakim pimpinan Ahmad Sharif, SH, Tony mengaku baru terlibat dalam masalah ini ketika kurang lebih dua tahun lalu dikarenakan terlilit hutang. Dalam melakukan aksinya, Tony bekerja sama dengan Sum, germo dari Batam yang hingga kini Sum masih buron Selama tiga bulan, Tony sempat menjadi buron dan pada akhirnya ditangkap oleh Polda Sumatera Utara. Seperti yang telah dilansir sebelumnya, Kasus Tony, tersebut menjadi perhatian para pemerhati perlindungan anak. Sejak kasus itu digelar, pusat perhatian LSM yang concern terhadap perlindungan anak dan perempuan, para praktisi hukum, dan kalangan kampus, tertuju ke persidangan itu. Tony ditangkap dan kemudian diadili berdasarkan laporan Linda (15) yang dijanjikan oleh Tony lapangan pekerjaan sebagai baby sitter. Akan tetapi kenyataannya ia malah dipekerjakan sebagai purel diskotek di kawasan Jl. A Yani Medan. Majelis hakim membantah bahwa jatuhnya putusan tersebut karena tekanan masyarakat. Tapi, kuatnya desakan dan gerakan sejumlah LSM dan pemerhati anak-anak menjadi catatan tersendiri, baik bagi jaksa maupun majelis. "Kami sangat menghormati aspirasi yang berkembang di masyarakat. Tapi, kami independen dan tidak bisa diintervensi,"ujar Ahmad Syarif, SH, salah seorang majelis hakim kepada koran ini kemarin. Jumlah kasus trafficking dari tahun ke tahun terus meningkat di Sumatera Utara (Sumut). Praktik trafficking yang berkembang antara lain perdagangan perempuan untuk kepentingan prostitusi dan penculikan/penjualan bayi. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut mencatat pada 2004 jumlah kasus trafficking di Sumut sebanyak 81 kasus. Pada 2005 sebanyak 125 kasus. Setiap tahun jumlah kasus trafing meningkat hingga 2006 menjadi sebanyak 153 kasus.” Dari contoh kasus diatas persoalan ini memang menimbulkan permasalahan yang penanganannya memerlukan perhatian yang sangat serius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts