SINGKONKEJU

Sabtu, 13 Oktober 2012

TRADISI PENYIKSAAN DAN KEKERASAN KERAPAN SAPI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketika kita mendengar kata Madura timbulah pertayaan besar dan banyak orang-orang bertanya-tanya seperti pakah Madura ? Madura memiliki kekayaan kesenian tradisional yang amat banyak, beragam dan amat bernilai. Dalam menghadapi dunia global yang membawa pengaruh materalisme dan pragmatisme, kehadiran kesenian tradisional dalam hidup bermasyarakat di Madura sangat diperlukan, agar kita tidak terje bak pada moralitas asing yang bertentangan dengan moralitas lokal ataujati din bangsa. Kita sebagai orang asli Madura harus mengenal budaya Madura yang masih hidup, bahkan yang akan dan telah punah. Pengenalan terhadap berbagai macam kebudayaan Madura tersebut akan diharapkan mampu menggugah rasa kebangsaan kita akan kesenian daerah.
Madura dikenal sebagai wilayah yang tandus namun kaya akan kebudayaan. Kekayaan budaya yang terdapat di Madura dibangun dari berbagai unsur budaya baik dari pengaruh animisme, Hin duisme dan Islam. Perkawinan dari ketiga unsur tersebut sangat dominant mewamai kebudayaan yang ada. Dalam perkembangannya berbagai kesenian yang bemafaskan religius, terutama benuansa Islami temyata lebih menonjol. Keanekaragaman dan berbagai bentuk seni budaya tradisional yang ada di Madura menunjukkan betapa tinggi budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Kekayaan seni tradisional yang berisi nilai-nilai adiluhur yang berlandaskan nilai religius Islami seharusnya dilestarikan dan diperkenalkan kepada generasi muda sebagai penerus warisan bangsa. Kesenian tradisional adalah aset kekayaan budaya lokal yang akan mampu melindungi gene rasi muda dari pengaruh negatif era globalisasi. Pengaruh budaya global yang demikian gencar melalui media elektronik dan media cetak menye babkan generasi muda kehilangan jati diri.
Dengan mengetahui kebudayaan lokal diharapkan generasi muda mampu menggali potensi kekayaaan seni tradisional sekaligus melestarikannya. Secara garis besar jenis-jenis kebudayaan tradisional Madura dapat dibagi dalam empat kelom pok dan dari masing-masing kelompok tersebut mempunyai tujuan maupun fungsi yang berbeda, adapun jenis-jenis kebudayaan tradisional tersebut adalah seni tari, seni musik, upacara ritual dan seni pertunjukan.
Semua tradisi yang dimiliki ini sampai sekarang masih tetap eksis walaupun tidak seeksis pada jaman pendahulunya. Seperti yang terdapat dalam seni pertunjukan salah satunya adalah “Kerapan Sapi”. Bagi masyarakat Madura, karapan sapi  bukan sekadar sebuah pesta rakyat  yang perayaannya digelar setiap  tahun. Karapan sapi juga bukan hanya  sebuah tradisi yang dilaksanakan  secara turun-temurun dari satu generasi  ke generasi berikutnya. Karapan  sapi adalah sebuah prestise kebanggaan  yang akan mengangkat martabat  di masyarakat. Kerapan sapi adalah kebudayaan asli Madura yang kemudian menjadi icon utama pulau Madura. Perlombaan memacu sapi atau Kerapan sapi pertama kali diperkenalkan pada abad ke 13 (1561 M) pada masa pemerintahan Pangeran Katandur di keraton Sumenep. Permainan dan perlombaan ini tidak jauh dari kaitannya dengan kegiatan sehari-hari para petani, dalam arti permainan ini memberikan motivasi kepada kewajiban petani terhadap sawah ladangnya dan disamping itu agar petani meningkatkan produksi ternak sapinya.
Kerapan sapi memang telah menjadi identitas, trade mark dan simbol keperkasaan dan kekayaan aset kebudayaan Madura, namun, perlombaan kerapan sapi kini tidak seperti dulu lagi dan telah disalahgunakan sehingga lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Masalahnya banyak di antara para pemain dan penonton yang melupakan kewajibannya sebagai hamba Allah SWT, yakni mereka tidak lagi mendirikan shalat (Lupa Tuhan, ingat sapi)..
Disisi lain sapi yang dipersiapkan untuk kerapan juga medapatkan perlakuan istimewa dari sang pemilik, misalnya Tokang obu itu juga bertugas untuk memijat, menginjak dan memandikan sapi setiap hari. Tidak jarang sapi-sapi itu dimandikan sampai dua kali sehari. Pijat dan injak, katanya, dilakukan agar otot-otot sapi tidak kaku dan aliran darahnya lancar. Setiap hari sapi-sapi itu juga dikeluarkan dari kandang dijemur. Belum lagi jamu campuran butir telur dengan  parutan kunyit, jahe, temulawak, kunci, gula merah, dan minuman bersoda yang diberikan dua kali seminggu.
Namun segala kenikmatan itu harus dibayar sapi dengan siksaan selama berpacu. Sapi-sapi itu berpacu dalam kesakitan, dan pantatnya berdarah. Cairan merah itu meleleh akibat garukan paku sang joki yang ditancapkan pada gagang kayu seperti parut. Tidak hanya itu. Mata, pantat yang luka, dan sekitar lubang anus si sapi diolesi cuka, sambal, dan balsem. Selain paku yang ditancapkan pada  tongkat sepanjang sekitar 15 sentimeter itu, bagian dalam ekor sapi diikat dengan kayu yang juga berpaku. Saat berlari, ekor yang dipasangi kayu berpaku itu naik turun, dan menusuk kulit sekitar dubur sapi. Sapi-sapi itu terlihat meronta, mengentak-entakkan kaki dan mendengus berulang-ulang. Tidak heran jika setiap pasangan sapi karapan harus dipegang oleh banyak orang agar tidak kalap dan lari sembarangan.
Pada kondisi seperti itu, tidak jelas apakah setiap pasangan sapi karapan, berlari karena kekuatan ototnya atau karena ingin lepas dari rasa sakit. Bisa jadi, pasangan sapi akan diadu beberapa kali. Artinya, sapi-sapi tersebut akan mendapatkan perlakuan menyakitkan berulang-ulang. Selain itu, tidak sedikit dari penonton yang menjadikan perlombaan kerapan sapi sebagai arena pertaruhan judi. Maka pantaskah budaya ini terus dilestarikan lagi, jika begini jadinya..??
Hal inilah yang kemudian menjadi kontroversi dikalangan masyarakat terutama dikalangan para ulama Madura. Seperti yang telah disampaikan oleh tokoh ulama Madura KH. Munif Sayuti bahwa penyiksaan yang terjadi dalam tradisi kerapan sapi hukumnya haram dan perlu dihentikan. Sudah jelas dalam hokum islam segala bentuk penyiksaan apapun dan terhadap hewan sekalipun itu sangat penyimpang dari syari’at dan ajaran agama dan hukumnya haram.
Hal ini juga kemudian menjadi perdebatan dikalangan masyarakat Madura sendiri. Dan kalaupun kebudayaan ini harus tidak dilestarikan itu bukan perkara mudah karena kebudayaan ini telah mengakar dalam masyarakat Madura. Selain itu juga kerapan sapi merupakan icon utama pulau Madura dan mampu memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap APBD. Akan tetapi disisi lain dalam kerapan sapi banyak hal-hal negatif yang tidak seharusnya dilakukan sehingga mengurangi bahkan merusak esensi, citra, dan makna yang terkandung dalam seni pertunjukan kerapan sapi yang sebenarnya. Hal inilah yang kemudian menjadi bahan kajian dalam konteks kajian kualitatif komunikasi.
 1.2 Rumusan Masalah
1.      Mengetahui sebab terjadinya kontroversi penyiksaan dalam tradisi kerapan sapi
2.      Tujuan dan makna dibalik penyiksaan dalam kerapan sapi
3.      Apakah kekerasan dalam penyiksaan sapi bisa dihentikan
1.3 Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui apa sebab terjadinya kontroversi penyiksaan dalam tradisi kerapan sapi
2.      Untuk mengetahui apa tujuan dan makna dibalik penyiksaan dalam kerapan sapi
3.      Untuk mengetahui apakah penyiksaan dalam kerapan sapi bisa dihentikan

 
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kerangka Teori
Dalam penelitian ini teori yang dipakai adalah teori Roland Barthes. Roland Barthes adalah penerus pemikiran Ferdinand De Saussure. Dalam teori semiotika ini mengungkapkan ada apa dibalik tanda/sign objek. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “Order Of Signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure. Gagasan barthes yang dikenal dengan “ Order Of Signification “ seperti yang digambarkan dalam bagan dibawah ini :
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “Mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
Seperti halnya dengan yang terjadi dalam tradisi kerapan sapi. Kerapan sapi yang awalnya hanya sebuah pesta rakyat yang dilaksanakan setelah musim panen dan biasanya juga dilaksanakan setiap mau menjelang musim hujan. Hal inilah yang menimbulkan makna konotasi dalam kerapan sapi. Namun kemudian makna konotasi ini berkembang menjadi sebuah asumsi umum dalam masyarakat sehingga kemudian kerapan sapi yang semula hanya sebuah pagelaran pesta rakyat bukan lagi menjadi sebuah konotasi akan tetapi  berubah menjadi sebuah makna denotasi pada pemaknaan tingkatan kedua. Dalam tahap ini kerapan sapi tidak hanya dianggat sebagai sebuah bentuk pagelaran pesta rakyat akan tetapi berubah menjadi sebuah mitos yaitu “apabila sudah musin kerapan sapi maka akan segera turun hujan”
Permainan kerapan sapi jika dicermati secara mendalam mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas.
Nilai kerja keras tercermin dalam proses pelatihan sapi, sehingga menjadi seekor sapi pacuan yang mengagumkan (kuat dan tangkas). Untuk menjadikan seekor sapi seperti itu tentunya diperlukan kesabaran, ketekunan dan kerja keras. Tanpa itu mustahil seekor sapi aduan dapat menunjukkan kehebatannya di arena kerapan sapi.
Nilai kerja sama tercermin dalam proses permainan itu sendiri. Permainan kerapan sapi, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak itu satu dengan lainnya saling membutuhkan. Untuk itu, diperlukan kerja sama sesuai dengan kedudukan dan peranan masing-masing. Tanpa itu mustahil permainan kerapan sapi dapat terselenggara dengan baik.
Nilai persaingan tercermin dalam arena kerapan sapi. Persaingan menurut Koentjaraningrat (2003: 187) adalah usaha-usaha yang bertujuan untuk melebihi usaha orang lain dalam masyarakat. Dalam konteks ini para peserta permainan kerapan sapi berusaha sedemikian rupa agar sapi aduannya dapat berlari cepat dan mengalahkan sapi pacuan lawan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, masing-masing berusaha agar sapinya dapat melakukan hal itu sebaik-baiknya. Jadi, antarpeserta bersaing dalam hal ini.
Nilai ketertiban tercermin dalam proses permainan kerapan sapi itu sendiri. Permainan apa saja, termasuk kerapan sapi, ketertiban selalu diperlukan. Ketertiban ini tidak hanya ditunjukkan oleh para peserta, tetapi juga penonton yang mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat. Dengan sabar para peserta menunggu giliran sapi-sapi pacuannya untuk diperlagakan. Sementara, penonton juga mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Mereka tidak membuat keonaran atau perbuatan-perbuatan yang pada gilirannya dapat mengganggu atau menggagalkan jalannya permainan.
Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada.
Selain penanda dan petanda yang diulas diatas, ada juga penanda dan petanda yang dapat dilihat langsung dari fisik kerapan sapi itu sendiri, yaitu dilihat dari bentuk kokot sapi (kaki sapi) yang dibuat agak runcing dari sapi-sapi yang lain, pangonong (alat yang mengapit sapi), kleles (tempat joki), dan “empa’tanduk sapasang”(empat tanduk satu pasang).
Kokot dibuat agak runcing dari sapi biasa itu memiliki makna “namen panggun ka tana” (nanam pasti ke tanah). Karena masyarakat Madura mayoritas adalah petani yang memiliki etos kerja yang sangat besar. Dan setiap tanaman itu pasti ditanam ketanah.
Pangonong adalah alat yang mengapit sapi, terbuat dari bambu dan ada juga yang terbuat dari kayu ukir. Alat ini dipasang agar sapi bisa berlari bersama. Hal ini menandakan bahwa orang Madura juga memiliki nilai-nilai religius yang sangat tinggi. Dan juga mencerminkan iman dan islam dimana dua komponen tersebut juga harus berjalan bersama.
Kleles adalah alat tempat joki berpijak/berdiri dan mengendalikan sapi. Alat ini terbuat dari bambu untuk sapi kerap.  Hal ini memiliki arti bahwa setiap orang  harus memiliki pegangan dan pijakan dalam melangkah dan melakukan setiap perbuatan. Pegangan dan pijakan orang Madura adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Empa’tanduk sapasang memiliki arti setiap orang Madura harus memiliki tanduk (keahlian) dalam bidang apa pun. Karena orang Madura terkenal memiliki semangat kerja yang sangat tinggi dan semangat itu harus didukung dengan kemampuan.
Itulah makna-makna yang dilahirkan dari penada-penanda yang ada dalam tradisi kerapan sapi Madura.
BAB III
METODOLOGI
3.1. Paradigma Penelitian
Penelitian dengan pendekatan fenomenologis berusaha untuk memahami makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia didalam situasinya yang khusus. Penelitian dengan cara ini dimulai dengan sikap diam dan terbuka tanpa prasangka. Artinya peneliti tidak menganggap dirinya mengetahui makna dari berbgai hal yang terjadi dan ada pada orang-orang yang sedang dipelajarinya (Sutopo, 2002:25)
Paradigma yamg di gunakan adalah Paradigma Konstruktivisme ini Memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam setting keseharian yang alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau mengelola dunia sosial mereka.
3.2 Unit Analisis
Dalam pelaksanaan penelitian akan digunakan komunikator, pesan dan media sebagai unit analisisnya.
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.       Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode observasi deskriptif analisis. (Peneliti melakukan observasi dan menganalisa data sesuai dengan keadaan).
b.      Observasi dilakukan berdasarkan pada pedoman observasi
c.       Pedoman observasi disusun sebagai berikut :
-              Mengumpulkan data dengan mencari semua data yang berkaitan dengan objek penelitian (kerapan sapi)
-          Melakukan identifikasi terhadap visualisasi objek yang ada.
-              Mendeskripsikan makna-makna dan tujuan dari visualisasi dari objek penelitian.
3.4. Populasi dan Sampel
Dalam penelitian ini peneliti mengambil populasi pada suku Madura, budaya madura dan tradisi Madura
Sampel yang di ambil adalah tradisi kerapan sapi yang cenderung terjadi kekerasan pada sapi yang di jadikan objek kerapan.
3.5. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
dengan wawancara merupaka suatu interaksi terhadap pemilik sapi yang mau di jadikan kerapan. interaktif (percakapan), dan melalui pertanyaan dan jawaban yang terbuka.walaupun pada awalnya peneliti sudah mempersiapkan daftar pertanyaan yang telah dibuat, wawancara mengalir sesuai dengan respon atau jawaban responden. Yang terpenting adalah dapat menggali semua data yang dicari. (Creswell dalam Engkus Kuswarno)
b. Observasi
Pencarian data pada literatur yang ada hubungannya dengan judul dan materi sebagai bahan penulisan.
3.4  Teknik Analisa Data
Data yang sudah didapatkan dianalisis dengan system analisis semiotika. Sebagaimana telah diungkapkan bahwa semiotika adalah ilmu yang mengkaji tentang tanda atau system tanda dimana tanda terebut dapat berupa indeks, ikon, atau symbol. Tanda-tanda tersebut bertujuan untuk mengkomunikasikan pesan-pesan tertentu yang dibuat oleh komunikator kepada komunikan. Di dalam pertunjukan kerapan sapi tanda-tanda tersebut hanya mempunyai kualitas visual saja.
Pendekatan hubungan yang terjadi antara penanda (komunikator) dengan petanda (komunikan) dapat terjadi melalui dua arti/makna yaitu :
a.       Makna Denotative
Makna yang muncul dari sebuah gambar/bentuk sesuai dengan asli bentuk/gambar tersebut.
b.      Makna Konotatif
Makna yang muncul dari sebuah gambar/bentuk bila gambar atau bentuk tersebut dilihat dari sedut pandang yang berbeda.
Dalam menganalisa objek kita dapat memfokuskan perhatian pada seatiap penanda yang ada dalan objek tersebut baik itu dari penanda yang sifatnya diam atau kegiatan visualisasi dari sapi dan orang mengiringi sebagai sebuah elemen tanda atau signame, yaitu sebuah tanda dasar yang tidak dapat diturunkan lagi. Penanda inilah yang kemudian akan banyak memberikan rangsangan (stimulus) dan menjadi fokus penelitian baik yang realis maupun dekoratif yang dibuat untuk mewakili bentuk-bentuk tertentu pula. Dalam bentuk ikon ini pesan, maksud, dan tujuan dapat berarti secara luas dan dapat bersifat konotatif, tergantung dari karakter dan kemampuan audiens dalam menerjemahkan kede-kode ikon dan gambar yang ditampilkan. Hal ini berbeda jika disamping gambar/bentuk dan ikon yang dimunculkan terdapaat teks yang mengandung pesan linguistic untuk mendukung gambar atau visualisasi objek.
Daftar Pustaka
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filisafat Komunikasi. Cet. Ke-3. Citra Aditya Bakti: Bandung. 2003
Wiyata, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta: LKiS, 2002
Komunikasi Virtual Vs Komunikasi Klasik. Refinasari.blogspot.com 
http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/17/07092068/pantat.dipaku.mata.dan.dubur.diolesi.balsam 
http://www.youtube.com/watch?v=PVKcySwXD9U&feature=related 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts